Psikologi Agama

"Perkembangan Beragama Masa Kanak-Kanak"
Memahami Psikologi Agama

Perkembangan Beragama Masa Kanak-Kanak

PERKEMBANGAN BERAGAMA MASA KANAK-KANAK

A. Tahap Perkembangan Kejiwaan Anak

Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut Kohnstamm(1984), tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi lima periode, yaitu:

1. Umur 0-3 tahun, periode vital atau menyusui.

2. Umur 3-6 th, periode estetis, masa mencoba dan masa bermain.

3. Umur 6-12 tahun, periode intelektual (masa sekolah)

4. Umur 12-21 tahun, periode social atau masa pemuda.

5. Umur 21 tahun keatas, periode dewasa.

Elizabeth B. Hurlock (1996) merumuskan tahap perkembangan manusia secara lebih lengkap sebagai berikut:

1. Masa Pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.

2. Masa Neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.

3. Masa Bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.

4. Masa Kanak- Kanak awal, umur 2-6 tahun.

5. Masa Kanak- Kanak akhir, umur 6-10 atau 11 tahun.

6. Masa Pubertas (pra adolesence), umur 11- 3 tahun

7. Masa Remaja Awal, umur 13-17 th. Masa remaja akhir 17-21 th.

8. Masa Dewasa Awal, umur 21 - 40 tahun.

9. Masa Setengah Baya, umur 40 – 60 tahun.

10. Masa Tua, umur 60 tahun keatas.

B. Tahapan Perkembangan Keberragamaan pada Anak

Yang dimaksud dengan masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock(1996), dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan:

1. 0 – 2 tahun (masa vital)

2. 2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)

3. 6 – 12 tahun (masa sekolah)

Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata tuhan itu tumbuh.

Perasaan anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam-macam emosi yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga, butuh, takut dan cinta sekaligus.

Menurut Zakiah Daradjat (1976), sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (27 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.

C. Tingkatan Kesadaran dan Sikap Beragama pada Anak

Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian (Lebih rinci bisa dilihat pada Daradjat:1976; Rakhmat:2004; Jalaluddin:2008):

1. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng)

Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oelh dongeng- dongeng yang kurang ,masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng. Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak-kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional dan spontan tapi penuh arti teologis.

2. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)

Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai Pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika.

Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.

3. The Individual Stage (Tingkat Individu)

Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik terbagi menjadi tiga golongan:

a. Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.

b. Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).

c. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri dan menghayati ajaran agama.

Berkaitan dengan masalah ini, ada juga yang membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian:

a. Fase dalam kandungan. Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis-ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh, tepatnya ketika terjadinya perjanjian dengan Tuhannya.

b. Fase bayi. Pada fase kedua inipun belum banyak yang bisa diketahui mengenai perkembangan agama pada anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran.

c. Fase kanak-kanak. Masa ketiga ini merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anakmulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak-kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan-tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.

d. Masa anak sekolah. Seiring dengan perkembangan aspek-aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.

D. Sifat Keberagamaan pada Anak

Sifat keberagamaan pada anak bisa diklasifikasikan menjadi:

1. Unreflective (kurang mendalam/tanpa kritik). Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral.

2. Egosentris. Sifat egosentris ini berdasarkan hasil penelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa. Pada usia 7 – 9 tahun, doa secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak-gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.

3. Anthromorphis. Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.

4. Verbalis dan Ritualis.Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).

5. Imitatif. Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting.Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, tapi berupa teladan

6. Rasa Heran. Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting.