Psikologi Agama

"Manusia dan Kecenderungan Pada Agama"

Memahami

Kecenderungan Manusia Pada Agama...

Manusia dan Kecenderungannya pada Agama

Homo religious, homo divinans, adalah istilah-istilah yang sudah lama dikenal dunia ilmu pengetahuan. Istilah-istilah tersebut secara langsung mengisyaratkan bahwa manusia memang cenderung pada agama/beragama. Bahkan dapat dipandang sebagai bukti pengakuan para ahli akan kecenderungan dimaksud.Manusia memang diciptakan dalam sebaik-baik kejadian (Q.s.,al-Tīn/95:4) namun memiliki keterbatasan dalam kapasitas dirinya sebagai makhluk ciptaan, dan tidak otomatis dapat memenuhi seluruh kebutuhan dan hasrat hidupnya tanpa bantuan pihak lain. Menurut Ali Syara’ati bahwa yang membedakan manusia dengan semua binatang adalah pengertiannya dihadapan yang gaib, dengan kata lain ketidak cukupan alam untuk memenuhi kebutuhan dan eksistensinya, dan pelariannya dari apa yang ada menuju pada apa yang seharusnya ada, inilah bukti akan adanya sesuatu yang sublim, yang spiritual dalam diri manusia(1983). Betapa banyaknya orang yang kandas dalam kehidupannya, tak mampu mewujudkan kehidupan dan hasratnya secara baik lantas mengakhiri hidupnya secara nekad. Dan betapa banyak juga orang-orang yang secara material mampu memenuhi hajat hidup lahiriahnya secara memadai, namun berbalik ke arah kehidupan spiritual yang dipandangnya mampu memberikan yang lebih berharga dan memuaskan. Dalam realitas kehidupan, sering kali orang yang mengabaikan kecendurungan hatinya kepada agama menjadi menderita beraneka penyakit kejiwaan. Hal ini dapat dimengerti al. dari rangkaian pengalaman Carl Gustav Jung sebagai psikolog yang disimpulkannya dalam ungkapan: Pada tiga puluh tahun terakhir ini, banyak orang yang meminta kepada saya dari negara-negara maju untuk meneliti sebab-sebab timbulnya pe­nyakit jiwa. Ternyata pangkal persoalaan dari para penderita penyakit tersebut yang telah melewati separuh dari kehidupan mereka tidak lain adalah karena hati mereka tertutup dari doktrin agama...(Ahyadi:1988).Diantara penyakit itu adalah rasa takut. Rasa takut telah dan masih memenuhi horizon kehidupan manusia. Manusia masih hidup dalam ketakutan, Albert Camus menyebut masa kini abad ketakutan (Peale: 1977), dan oleh Tillich disebut "the age of anxiety" (Turmudhi: 1991).Berbagai ragam dan tingkatan rasa takut menyerang manusia. Yang kaya takut tak dapat mempertahankan dan meningkatkan kekeyaannya itu. Yang miskin takut tak dapat memenuhi kebutuhannya yang paling primer, takut akan terus atau bertambah miskin. Yang "orang besar" takut kehilangan atau jatuh dari kebesarannya. Yang "orang kecil" takut akan tertekan atau ditekan terus dan seterusnya. Rasa takut membuat orang gelisah serta memerlukan ketentraman dan kedamaian batin. Jiwanya cenderung untuk mencari yang paling benar dan paling berwewenang.Dari sudut pandang Islam, banyak isyarat bahkan penegasan baik dalam al-Qur`an maupun dalam Hadits, dalam bentuk kisah bahkan dalam bentuk doktrin, betapa manusia berhajat pada kebenaran atau pada agama. Dalam bentuk kisah, antara lain bagaimana kebutuhan dan kerinduan manusia akan kebenaran, diwakili oleh Nabi Ibrahim. Pergumulannya mencari Tuhan digambarkan dalam Q.s.,al-An‘âm/6:74-79. Dalam bentuk doktrin, bagaimana Allah menegaskan kepada jiwa manusia akan keTuhananNya, dalam Q.s.,al-A‘râf/7:172, dan Q.s.,al-Syams/91:7-8. Juga dalam Q.s.,al-Rūm/30:30 diceritakan tentang fithrah yang merupakan alas penciptaan manusia. Fithrah sebagai dasar dan kondisi penciptaan manusia, dan fithrah dalam arti sebagai wadah dalam diri manusia yang telah siap untuk menerima kabenaran dan pengetahuan Para ahli ilmu jiwa agama al. Rudolf Otto dalam bukunya Das Religie mengemukakan bahwa jiwa seseorang diliputi dua misteri yang disebut misterium Trimendum (hal-hal gaib yang menggetarkan atau menakutkan hatinya), dan mesterium Fascinans (hal-hal gaib yang mempunyai daya tarik untuk dicinta dan diharap). Perasaan itu timbul karena manusia merasa menghadapi sesuatu yang sama sekali lain, yang disadari sebagai Yang Maha Kuasa dan mengagumkan yang disebut Whully Other. Pengalaman mengagumi zat Yang Maha Kuasa dengan diliputi dua macam misterium tadi disebut Numinous(Arifin,1977). Dalam teorinya tentang peak-experiences Abraham Maslow mengungkapkan bahwa ada saatnya manusia (tatkala pemenuhan dan pemuasan kebutuhan-kebutuhannya atau salah satu dari kebutuhannya itu) mendapatkan sesuatu yang dinamakan pengalaman puncak (peak-experiences) dalam kehidupannya. Ketika dia berada dalam pengalaman puncak itu, manusia merasakan suatu kelebihan kepenuhan, dan ketersentuhan dengan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Sempurna. Dari situ timbul rasa dan kebutuhan pada agama.Dalam analisis Nurcholish Madjid bahwa dalam diri manusia ada sesuatu yang sublim, yang disebut rasa kesucian, yang secara alamiah atau fithriah, telah membuat manusia menjadi apa yang disebut hanīf dalam agama (Islam). Jadi agama adalah pernyataan ke luar sifat hanīf manusia yang telah tertanam dalam jiwanya. Maka beragama adalah amat natural, dan merupakan kebutuhan manusia secara esensial (Madjid:1987).Sebagaimana dinyatakan Yasien Mohamed bahwa fenomena universal (keberagamaan) dimana keimanan tetap ada bahkan pada masyarakat sekular, bisa dijelaskan melalui gagasan tentang fithrah, sifat dasar bawaan manusia. Jauh dalam bawah sadarnya, manusia sebagai makhluk religius, menyadari keterbatasan-keterbatasannya sendiri dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kecenderungan alamiahnya untuk mengakui dan menyembah Allah tertanam dalam sifat dasar manusia dan tidak bisa dihapuskan oleh kekuatan-kekuatan sekularisasi. Kecenderungan religius ini merupakan sesuatu yang alamiah pada manusia, ia menyatu pada sifat dasar manusia, pada fithrah (Mohamed:1997).Menurut Zakiah Darajat Psikologi Agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi. Dari uraian tersebut dapat difahami bahwa manusia didalam dirinya memiliki kecendurungan yang kuat pada dan untuk beragama, bukan sekedar percaya melainkan beragama dengan agama yang mengajarkan tentang ke-Tuhanan dan kebenaran serta bagaimana mencapainya.