Psikologi Agama

Agama, Tuhan, Spiritual, Kepercayaan

Psikologi Agama

Memahami Tentang Agama, Tuhan, Spiritual dan Kepercayaan

AGAMA, TUHAN, SPIRITUAL, KEPERCAYAAN

A. Agama

There is no more difficulft word to define than relegion (Clark:1958). Paling tidak, ada tiga hal yang menyebabkan agama sulit untuk didefinisikan yaitu: 1)Karena pengalaman agama bersifat subyektif, internal dan sangat individual; 2)Karena agama itu memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perasaan dan kepribadian seseorang; 3)Konsep difinisi agama itu akan sangat dipengaruhi oleh siapa dan apa tujuan dari pada yang membuat defenisi itu.

Di sini dikemukakan beberapa pengertian agama menurut para ahli. Istilah Agama dari Sanskrit a= tidak, gam= pergi, agama = tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun. Dalam kata Latin agama disebut Religio dari relegere berarti obligate (kewajiban/mengikat). Dalam arti luas agama dapat didefinisikan sebagai penerimaan atas tata aturan dari kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia itu sendiri (Binnet:t.th). William James menyatakan Religion is the feelings, acts and experiences of individual men in their sulitude, so far they apprehend themselvas to stand in relation to whatever they mey consider the divine(1929). Ames mengatakan religion as the consciousness of the highest social values (Clarc:1958). James Bissett Pratt mendefinisikan religion is the se­rious and social atitude of individuals or communities to ward the powers which they conceive as having ultimate control over their interests and destinies(1956). Agama menurut Eric Fromm adalah sistim pikiran dan perbuatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang memberikan kepada individu (anggotanya) satu kerangka pedoman dan satu objek-sasaran penyembahan (1988).

Dari defenisi agama tersebut terlihat agama pada dasarnya merupakan ketertarikan, keterikatan dan ketergantungan manusia secara mental-rohaniah kepada sesuatu atau pihak yang dianggap "mengatasinya". Einstein dalam orasi ilmiah pada tahun 1939 di depan Princeton Theological Seminary menyatakan bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat diciptakan oleh mereka yang dipenuhi dengan gairah untuk mencapai kebenaran dan pemahaman, tetapi sumber perasaan itu berasal dari tataran agama, termasuk didalamnya keimanan pada kemungkinan bahwa semua peraturan yang berlaku pada dunia wujud bersifat rasional, artinya dapat dipahami akal. Saya tidak dapat membayangkan ada ilmuwan sejati tidak mempunyai keimanan yang mendalam seperti itu, ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan buta. Dengan agak rinci Endang Saefuddin Anshari merumuskan pengertian agama sebagai satu sistema credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia dan satu sistema ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya yang mutlak itu serta sistema norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungn manusia dengan alam lainnya sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud (1976).

Psikologi agama tidak berkompeten membuktikan benar tidaknya suatu agama. Sebagai ilmu, ia tidak menguraikan tentang Tuhan tapi dapat menguraikan tentang pengaruh agama terhadap tingkah manusia.

B. Tuhan God Allah

Carl G. Jung menyatakan Very personal nature and an irresistible influence, I call it God. Thomas Van Aquino mengemukakan bahwa sumber kejiwaan agama ialah berfikir, manusia ber-Tuhan karena menggunakan kemapuan berfikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari kehidupan berfikir Fredrick Schleimacher berpandagan bahwa sumber keagamaan adalah rasa ketergantungan mutlak (sense of depend). Dengan rasa ketergantungan, manusia menyadari dirinya lemah, dan kelemahan ini menyebabkan ketergantungan hidup pada suatu kekuasaan yang berada diluar dirinya. Dari sini timbul rasa hingga konsep tentang Tuhan (Ramayulis:2004).

Mengapa ada manusia yang tidak percaya adanya Tuhan? Seputar persoalan ini ada ungkapan terkenal sepanjang masa dari seorang Filsuf bernama Nietscshe yang mengatakan “Gott ist Gestorben” (Tuhan sudah mati). Paul Vitz menceritakan tentang teori kekafiran Nietsche (theory of unbelief) adalah bukan karena perenungan dan penelitian yang sadar. Anda tidak percaya kepada agama bukan karena secara ilmiah anda menemukan agma itu hanya sekumpulan tahayul, Anda menolak agama bukan karena ada alasan rasional, melainkan faktor psikologis yang tidak Anda sadari. Nietsche menolak Tuhan seperti yang diakuinya bukan karena pemikiran tapi karena naluri (Rakhmat:2004).

Tidak berbeda dengan Nietsche, Freud menulis di dalam Future of an Illusion bahwa gagasan-gagasan agama muncul dari kebutuhan yang sama seperti yang memunculkan pencapaian peradaban lainnya, yakni dari desakan untuk mempertahankan diri melawan kekuatan alam yang lebih perkasa dan menaklukkan. (Kepercayaan agama hanyalah) ilusi, pemuasan dari keinginan manusia yang paling tua, paling kuat, dan yang paling penting seperti yang kita ketahui, kesan tidak berdaya yang menakutkan pada masa anak-anak membangkitkan kebutuhan akan perlindungan melalui cinta yang diberikan oleh sang Bapa. Jadi peraturan Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih menentramkan ketakutan akan bahaya kehidupan. Pada waktu kecil anak mengidolakan ayahnya sebagai pelindung dan pemelihara, ketika posisi anak tidak berdaya. Setelah dewasa ketika berhadapan dengan kekuatan yang maha perkasa, ia kembali ingat kepada ayahnya, lalu ia berilusi tentang Tuhan yang seperti ayahnya. Untuk memenuhi kebutuhan akan ayah ia menciptakan Tuhan Bapak. Manusia diciptakan tidak berdasar citra Tuhan, tetapi Tuhan diciptakan berdasar citra manusia (Rakhmat:2004)

Bagaimana Tuhan, God, dalam sebutan Allah?

Muhammad Quraish Shihab menganalisisnya agak panjang dalam perspektif bahasa Arab. Bahwa kata ‘Allah’ merupakan nama Tuhan yang paling populer. Apabila anda berkata: Allah, maka apa yang anda ucapkan itu telah mencakup semua nama-nama-Nya yang lain, sedangkan bila anda mengucapkan nama-nama-Nya yang lain – misalnya al-Rahmân, al-Mâlik dan sebagainya, ia hanya menggambarkan sifat Rahmân, atau sifat kepemilikan-Nya. Disisi lain, tidak satupun dapat dinamakan Allah, baik secara hakikat maupun secara majazi, sedangkan sifat-sifat-Nya yang lain – secara umum – dapat dikatakan bisa disandang oleh makhluk-Nya. Bukankah kita dapat menamakan si Ali yang pengasih Rahīm?, atau Ahmad yang berpengetahuan sebagai ‘Alīm?. Secara tegas, Tuhan Yang Maha Esa menamakan dirinya dengan Allah (Q.s.,Thâhâ/20:14)

ûÓÍ_¯RÎ) $tRr& ª!$# Iw tm»s9Î) HwÎ) O$tRr& ’ÎTô‰ç6ôã$$sù ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ü“̍ò2Ï%Î!

Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.

[Innanī = sesungguhnya Aku, anâ = Aku, Allâhu = Allah, lâ ilâha = tidak ada tuhan, illâ = melainkan, ana = Aku...]

Dia juga dalam al-Qur`an yang bertanya: hal ta‘lamu lahū samiyyâ (Q.s.,Maryam/19:65). Ayat ini, dipahami oleh pakar-pakar al-Qur`an bermakna: Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang bernama seperti nama ini...? Atau: Apakah engkau mengetahui sesuatu yang berhak memperoleh keagungan dan kesempurnaan sebagaimana pemilik nama itu (Allah)? Atau bermakna: Apakah engkau mengetahui ada nama yang lebih agung dari nama ini? Juga dapat berarti: Apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama dengan Dia (yang patut disembah)? Pertanyaan-pertanyaan yang mengandung makna sanggahan ini kesemuanya benar, karena hanya Tuhan Yang Maha Esa yang wajib wujudnya itu yang berhak menyandang nama tersebut, selain-Nya tidak ada, bahkan tidak boleh. Hanya Dia yang berhak dan bisa memperoleh keagungan dan kesempurnaan mutlak, sebagaimana tidak ada nama yang lebih agung dari nama-Nya.

Para ulama dan pakar bahasa mendiskusikan kata tersebut antara lain apakah ia memiliki akar kata atau tidak. Sekian banyak ulama yang berpendapat bahwa kata Allah tidak terambil dari satu akar kata tertentu, tapi ia adalah nama yang menunjuk kepada zat yang wajib wujud-Nya, yang menguasai seluruh hidup dan kehidupan, serta hanya kepada-Nya seharusnya seluruh makhluk mengabdi dan bermohon. Tetapi banyak ulama berpendapat, bahwa kata Allah asalnya adalah Ilâh, yang dibubuhi huruf Alif dan Lâm dan dengan demikian, Allah merupakan nama khusus, karena itu tidak dikenal bentuk jamaknya. Sedangkan Ilâh adalah nama yang bersifat umum dan yang dapat berbentuk jamak (plural), yaitu Alihah. Dalam Bahasa Inggeris, baik yang bersifat umum maupun khusus, keduanya diterjemahkan dengan god, demikian juga dalam Bahasa Indonesia keduanya dapat diterjemahkan dengan ‘tuhan’, tapi cara penulisannya dibedakan. Yang bersifat umum ditulis dengan huruf kecil ‘god/tuhan’, dan yang bermakna khusus ditulis dengan huruf besar ‘God/Tuhan’.

Alif dan Lâm yang dibubuhkan pada kata Ilâh berfungsi menunjukkan bahwa kata yang dibubuhi tersebut merupakan sesuatu yang telah dikenal dalam benak. Kedua huruf tersebut sama dengan ‘the’ dalam bahasa Inggeris. Kedua huruf tambahan itu menjadi kata yang dibubuhi menjadi ma’rifat atau definite (diketahui/dikenal). Pengguna Bahasa Arab mengakui bahwa Tuhan yang dikenal dalam benak mereka adalah Tuhan Pencipta, berbeda dengan tuhan-tuhan (alihah/bentuk jamak dari ilâh) yang lain. Selanjutnya dalam perkembangannya lebih jauh dan dengan alasan mempermudah, hamzah yang berada antara dua lâm yang dibaca ‘i’ pada kata al-Ilâh tidak dibaca lagi, sehingga berbunyi Allah dan sejak itulah kata ini seakan-akan telah merupakan kata baru yang tidak memiliki akar kata, sekaligus sejak itu Allah menjadi nama khusus bagi Pencipta dan Pengatur alam raya yang wajib wujud-Nya.

Sementara ulama berpendapat kata ‘Ilâh’ yang darinya terbentuk kata Allah berakar kata al-Ilâhah, al-Ulūhah dan al-Ulūhiyyah yang kesemuanya menurut mereka bermakna ‘ibadah/penyembahan’, sehingga Allah secara harfiah bermakna ‘Yang Disembah’. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut berakar dari Alaha dalam arti mengherankan atau menakjubkan karena segala perbuatan/ciptaan-Nya menakjubkan atau karena bila dibahas hakekat-Nya akan mengherankan akibat ketidak-tahuan makhluk tentang hakekat zat Yang Maha Agung itu. Apapun yang terlintas dalam benak menyangkut hakekat zat Allah, maka Allah tidak demikian. Itu sebabnya ada riwayat yang menyatakan: Berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir tentang Zat-Nya. Ada juga yang berpendapat kata Allah terambil dari akar kata Alīha Ya’lahū berarti ‘tenang’. Karena hati menjadi tenang bersama-Nya, atau dalam arti ‘menuju’ dan ‘bermohon’ karena harapan seluruh makhluk tertuju kepada-Nya dan kepada-Nya jua makhluk bermohon.

Memang setiap yang dipertuhankan pasti disembah dan kepadanya tertuju harapan dan permohonan lagi menakjubkan ciptaannya, tetapi apakah itu berarti bahwa kata Ilâh – dan juga Allah – secara harfiah bermakna demikian? Dapat dipertanyakan apakah bahasa atau al-Qur`an yang menggunakannya untuk makna ‘yang disembah’? Kalau anda menemukan semua kata Ilâh dalam al-Qur`an, niscaya akan anda temukan bahwa kata itu lebih dekat untuk dipahami sebagai penguasa, pengatur alam raya atau dalam genggaman-Nya segala sesuatu, walaupun tentunya yang meyakini demikian, ada yang salah pilih ‘ilāh’nya.

Kata Allah mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh kata selainnya, ia adalah kata-kata yang sempurna hurufnya, sempurna maknanya, serta memiliki kekhususan berkaitan dengan rahasianya, sehingga sementara ulama menyatakan bahwa kata itulah yang dinamai ‘Ismu-Ilâh al-A’ẓam (Nama Allah yang paling mulia). Yang bila diucapkan dalam do’a, Allah akan mengabulkannya. Dari segi lafaz terlihat keistimewaan ketika dihapus huruf-hurufnya. Bacalah kata ‘Allâh’ dengan menghapus huruf awalnya, akan berbunyi ‘Lillâh’ dalam arti ‘milik/bagi Allah’, kemudian hapus huruf awal dari kata ‘Lillâh’, itu akan terbaca ‘Lâhu’ dalam arti ‘bagi-Nya’. Selanjutnya, hapus lagi huruf awal dari ‘Lâhu’, akan terdengan dalam ucapan ‘Hū’, yang berarti Dia (menunjuk Allah), dan apabila itupun dipersingkat akan terdengar suara ‘Ah’ yang sepintas atau pada lahirnya mengandung makna keluhan, tapi pada hakekatnya mengandung makna permohonan kepada Allah. Karena itu sementara ulama berkata bahwa kata ‘Allah’ terucap oleh manusia, sengaja atau tidak sengaja, suka atau tidak suka. Itulah salah satu bukti adanya ‘fithrah’ dalam diri manusia. Al-Qur`an juga menegaskan bahwa sikap orang-orang musyrik adalah: Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah". (Az Zumar/38)

Dari segi makna dapat dikatakan bahwa kata ‘Allah’ mencakup segala sifat-sifat-Nya, bahkan Dia-lah yang menyandang nama-nama tersebut, karena itu jika anda berkata “Yā..Allah..”, maka semua nama-nama/sifat-sifat-Nya telah tercakup oleh kata tersebut. Disisi lain, jika anda berkata ‘ar-Rahīm’, maka sesungguhnya yang anda maksud adalah Allah. Demikian juga ketika anda menyebut ‘al-Muntaqim’ (yang membalas kesalahan), namun kandungan makna ‘ar-Rahīm’ (Yang Maha Pengasih) tidak tercakup didalam pembalasan-Nya, atau sifat-sifat-Nya yang lain. Itulah salah satu sebab mengapa dalam syahadat selalu harus menggunakan kata ‘Allah’ ketika mengucapkan ‘Asyhadu an Lā Ilāha Illa-llāh’ tidak dibenarkan menggantinya dengan nama-Nya yang lain.

Demikianlah Allah, karena itu tidak heran jika sekian banyak ayat dalam al-Qur`an memerintahkan orang beriman agar memperbanyak zikir menyebut Allah. Karena itu setiap perbuatan yang penting hendaknya dimulai dengan menyebut nama itu, Allah. Rasulullah mengajarkan:”Tutuplah pintumu dan sebutlah nama Allah, padamkanlah lampumu dan sebutlah nama Allah, tutuplah periukmu dan sebutlan nama Allah, rapatkanlah kendi airmu dan sebutlah nama Allah…”(Shihab:al-Mishbah Buku I)

C. Spiritual

Mendefinisikan kata spiritual lebih sulit dari kata religion. Spitual mempunyai beberapa arti diluar konsep agama. Kata spirit selalu dihubungkan sebagai faktor kepribadian. Spirit merupakan energi baik secara fisik maupun psikis(Fonta:2003). Spirit dari kata benda Latin ‘spiritus’ berarti nafas (breath) dan kata kerja ‘spirare’ berarti bernafas (Webster:1963). Dari asal katanya, untuk hidup perlu bernafas, dan memiliki nafas berarti memiliki spirit. Menjadi spiritual berarti mempunyai ikatan lebih kepada hal yang bersifat kejiwaan atau kerohanian dibandingkan yang bersifat fisik atau material. Spiritual merupakan pencerahan diri dalam mencapai makna hidup dan tujuan hidup. Spiritual merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang (Hasan:t.th).

Spiritual dalam pengertian luas berhubungan dengan spirit, sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran yang abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia. Didalamnya terdapat kepercayaan pada kekuatan supranatural, memiliki penekanan terhadap pengalaman pribadi. Spiritual dapat merupakan eksperesi dari kehidupan yang dipersepsikan lebih tinggi, lebih kompleks atau lebih terintegrasi dalam pandangan hidup seseorang, dan lebih dari apapun yang bersifat indrawi. Menjadi spiritual adalah memiliki tujuan yang terus menerus meningkatkan kebijaksanaan dan kekuatan berkehendak, mencapai hubungan yang lebih dekat dengan ketuhanan dan alam semesta, menghilangkan ilusi dari gagasan salah yang berasal dari indra, perasaan, dan pikiran.

Terdapat pandangan bahwa aspek spiritual memiliki dua proses. Proses keatas, tumbuhnya kekuatan internal yang meningkatkan hubungan dengan Tuhan, dan proses kebawah peningkatan realitas fisik akibat perubahan internal. Dalam ungkapan lain, perubahan timbul pada diri seseorang dengan meningkatnya kesadaran diri, dimana nilai-nilai ketuhanan dalam diri termanifestasi melalui pengalaman…(Hasan:t.th).

Berkenaan dengan kecerdasan, menjadi kecerdasan spiritual yang dikenal dengan SQ (Spiritual Quotient), adalah landasan untuk memfungsikan IQ dan SQ secara efektif. SQ merupakan kecerdasan tertinggi. Semua kecerdasan yang disebut Howard Gardner dalam Multiple Intelligence (MI) kecerdasan linguistik, rasional, space, musikal, kinestetik, interaksi antar dan intra pribadi, merupakan varian dari ketiga kecerdasan utama IQ, EQ dan SQ serta pengaturan saraf ketiganya (Zohar:2001).

SQ memungkinkan manusia menjadi kreatif, memainkan permainan tak terbatas, memberi kemampuan membedakan, memberi rasa moral, memberi kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku dibarengi dengan pemahaman dan rasa cinta. SQ memberi kemampuan untuk melihat kapan pemahaman dan cinta sampai pada batasannya. SQ memberi kemampuan untuk bergulat dengan ihwal baik dan jahat, serta membayangkan kemungkinan yang belum terwujud—untuk bermimpi, bercita-cita, mengangkat diri dari kerendahan. SQ mengintegrasikan semua kecerdasan, menjadikan pemiliknya benar-benar utuh secara intelektual, emosional dan spiritual (Zohar:2001)

Apakah spiritualitas dan religiusitas itu sama? SQ tidak mesti sama dan tidak mesti berhubungan dengan agama. SQ bisa jadi menemukan cara pengungkapan melalui agama (formal), tetapi beragama tidak menjamin SQ tinggi. SQ adalah kecerdasan jiwa, kemampuan internal bawaan jiwa manusia, fasilitas yang berkembang jutaan tahun yang memungkinkan otak untuk menemukan dan menggunakan makna dalam kehidupan.. Agama (formal) adalah seperangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan secara eksternal, agama bersifat top-down, diwarisi dari Nabi/Kitab Suci atau ditanamkan melalui keluarga dan tradisi.

Spiritualitas ádalah kesadaran diri dan kesadaran individu tentang asal, tujuan dan nasib. Agama ádalah kebenaran mutlak dari kehidupan yang memiliki manifestasi fisik diatas dunia. Agama merupakan praktek prilaku tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi tertentu yang dianut oleh anggota-anggotanya. Agama memiliki kesaksian iman, komunitas dan kode etik. Dengan kata lain spiritual memberikan jawaban siapa dan apa seseorang itu (keberadaan dan kesadaran), sedangkan agama memberikan jawaban apa yang harus dikerjakan seseorang (prilaku atau tindakan). Seseorang bisa menganut agama, dan memiliki spiritualitas. Orang dapat menganut agama yang sama, namun belum tentu memiliki tingkat spiritualitas yang sama.

D. Kepercayaan

Dalam iman, manusia berkeyakinan bahwa ia berhubungan dengan Allah, sebagai tujuan dan isi iman atau kepercayaannya. Maka obyek iman bukanlah pengertian-pengertian, gagasan-gagasan atau ide-ide mengenai Tuhan melainkan Tuhan sendiri. Tuhanlah yang dipercayai manusia, Tuhan dalam kepribadian dan dalam manifestasi-manifestasi-Nya. Antara orang yang beriman dengan Tuhan terdapat hubungan pribadi. Bagi orang beriman, Tuhan menjadi tujuan hasrat-hasratnya yang intim, tetapi juga sekaligus penolong yang diandalkannya dalam mengejar kesempurnaan eksistensinya. Oleh karena itu tindakan “percaya” merupakan kenyataan yang kompleks. Didalamnya terdapat keyakinan intelektual, ketaatan taqwa dan cinta kasih (Dister:1989).

Secara psikologis perlu pembedaan arti kata iman dan kata percaya. Percaya lebih statis dan tidak menunjukan adanya sikap emosi yang positif terhadap obyek atau ide yang dipercayainyai. Misalnya, percaya besok akan hujan. Kepercayaan seperti ini tidak selalu disertai adanya kewajiban. Lain dengan iman yang bersifat dinamis, kata iman menunjukan adanya kehangatan emosi dan mengandung keharusan-keharusan atau kewajiban-kewajiban sebagai akibat adanya keimanan. Misalnya, iman kepada Allah. Keimanan seperti ini berarti bukan hanya percaya secara lisan kepadaNya, tapi juga mengandung tuntutan kesetiaan, kecintaan sebagai implikasi kewajiban kepada yang beriman. Kepercayaan bisa menjadi keimanan melalui perkembangan sedikit demi sedikit. Dalam perkembangan kepercayaan menjadi keimanan ini, sangat berperan pengaruh orang tua dan lingkungannya. Keimananpun dalam realitasnya mengalami perkembangan (Ahyadi:1988).

W.H.Clark(1958) membagi tahap perkembangan keimanan kedalam empat tahap atau level perkembangan:

1. Stimulus response verbalism. Pada level ini keimanan hanya di bibir (anak-anak), mekanismenya disini seperti orang yang belajar, mereka mengulang-ulang perbuatan yang mendapat hadiah dan menghilangkan kata atau perbuatan yang tercela, kata-kata yang menimbulkan rasa aman akan diulang-ulang oleh si anak, dengan demikian timbul rasa aman, kepercayaan yang hanya dibibir akan dikembangkan oleh anak dengan memasukkannya ke dalam dirinya, dan ini sangat penting untuk menjadi dasar dalam sikapnya dan menjadi pegangan hidupnya.

2. Intelectual comprehension. Terlihat pada masa remaja, lebih memerlukan intelek dan adanya proses kreatif yang lebih kompleks dari pada respons bersyarat saja, pikirna dan logika berperan dalam setiap proses keimanan, jiwa mula-mula percaya, timbul kebimbangan, kemudian proses berfikir timbul kepercayaan yang baru atau insight baru sebagai sintesa dari kepercayaan yang ada dan dengan kebimbangan (sementara) yang dialami.

3. Behavioral demonstration. Pada level ini sebagai akibat kepercayaan yang kuat akan keimanan seorang terlihat dalam tindakannya. Tingkah laku lebih menunjukan kesungguhan adanya keimanan daripada sekedar ucapan-ucapan saja, behavior demonstraton contoh nya pada sufi/mistikus yang teguh imannya.

4. Comprehensive integration. Hal-hal yang termasuk ketiga level diatas merupakan penampilan aspek-aspek saja dari pada kepercayaan. Disamping tiu yang lebih dalam ialah yang mencakup ketiga-tiganya menjadi satu kesatuan, baik kata-kata , pemikiran dan juga perbuatan di integrasikan untuk mebentuk satu kesatuan dalam diri individu (Clark:1958)

Keimanan memberikan makna pada hidup. Pemberian makna pada hidup itulah yang menurut Clark bekerja sebagai dinamika dan sekaligus daya tarik agama.